Secara umum seorang wanita menikah harus dengan walinya
Dari
Aisyah berkata : Rasulullah bersabda “seorang wanita yang menikah tanpa izin
dari walinya maka pernikahannya adalah bathil, bathil, bathil.
Dan apabila
mereka bersengketa maka pemerintah adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki
wali.” SHAHIH.
Diriwayatkan Abu Dawud 2083, Tirmidzi 1102, Ibnu Majah 1879,
Ad-Damiri 2/137, Ahmad 6/47, 165, Syafi’i 1543, Ibnu Abi Syaibah 4//128, Abdur
Razzaq 10472, Ath-Thayyalisi 1363, Ath-Thahawi 2/4, Ibnu Hibban 1248,
Ad-Daraquthni 381, Ibnu Jarud 700, Al-Hakim 2/168, Al-Baihaqi 7/105.
Dari Abu Musa Al-Asy’ari berkata
: Rasulullah bersabda : “tidak sah pernikahan kecuali dengan wali.” SHAHIH.
Diriwayatkan Abu Dawud 2085, Tirmidzi 1/203, Ibnu Majah 1/580, Darimi 2/137, Ath-Thahawi
2/5, Ibnu Abi Syaibah 4/131, Ibnul Jarud 702, Ibnu Hibban 1243, Daraquthni 38,
Al-Hakim 2/170, Baihaqi 7.107, Ahmad 4/393, 413.
Namun wali tidak boleh menghalangi seorang janda yang sudah
habis masa iddahnya untuk menikah kembali baik dengan suaminya yang dulu maupun
dengan lelaki lain yang disukainya.
Apabila kamu mentalak
istri-istri, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali)
menghalangi “mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat
kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf.” (Q.S. 2:232).
Orang-orang yang meninggal dunia
di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu)
menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari.
Kemudian apabila
telah habis masa ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan
mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa
yang kamu perbuat. (Q.S. 2:234).
Al-Hafiz Ibn Hazm berkata telah sabit riwayatnya yang shahih
dari Ibn Sirin, bahwa perempuan yang tidak mempunyai wali lalu menyerahkan
kewaliannya kepada lelaki yang sholeh untuk mengaqadkannya maka ia adalah harus
(sah).
Berdasarkan ayat 55 dari Al-Qur’an surah Al-Maidah “sesungguhnya wali
kamu hanyalah Allah, Rasul-nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan
shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).
Seandainya dari pihak wanita tidak mempunyai wali ashib
(ahli waris) yaitu sama sekali tak mempunyai wali atau wali yang bukan wali
‘ashib, maka tak ada hak bagi seorang pun diantara mereka ini untuk menghalang-halangi
aqad nikahnya, baik ia kawin dengan pria sederajat atau tidak, dengan mahar
mitsl atau kurang.
Sebab dalam keadaaan demikian seluruh urusan dirinya menjadi
tanggungjawabnya sendiri sepenuhnya. Seandainya tidak ada seorang wali yang
merasa terkenal, karena perkawinannya dengan pria yang tidak sederajat itu
dengan sendirinya mahar mitslnya menjadi gugur, sebab ia sudah terlepas dari
wewenang wali-walinya.
Jika wali tidak mau menikahkan, harus dilihat dulu alasannya,
apakah alasan syar’i atau alasan tidak syr’i. Alasan syar’i adalah yang
dibenarkan oleh hukum syara’.
Misal anak gadis wali tersebut sudah dilamar
orang lain, atau calon suaminya adalah orang kafir, atau mempunyai cacat tubuh
yang menghalangi tugasnya sebagai suami, dan sebagainya.
Jika wali menolak
menikahkan anak gadisnya berdasarkan alasan syar’i seperti ini, wali wajib
ditaati dan kewaliannya tidak berpindah kepada pihak lain (wali hakim).
(HSA
Alhamdani, Risalah Nikah, Hal. 90 – 91).
Jika seorang perempuan memaksakan diri untuk menikah dalam
kondisi seperti ini, maka akad nikahnya tidak sah, meski dinikahkan oleh wali
hakim.
Sebab hak kewaliannya tidak berpindah kepada wali hakim.
Jika perempuan
itu sama saja dengan menikah tanpa wali, maka nikahnya tidak sah.
Sabda
Rasullah SAW, “tidak (sah) nikah kecuali dengan wali”.
(HR. Ahmad; Subulus
Salam, III/117).
Namun adakalanya wali menolak menikahkan dengan alasan yang
tidak syar’i, yaitu alasan yang tidak dibenarkan hukum syara’.
Misalnya calon
suaminya bukan dari bangsa yang sama, bukan dari suku yang sama, orang miskin,
bukan sarjana, dan sebagainya.
Ini adalah alasan – alasan yang tidak ada
dasarnya dalam pandangan syariah, maka tidak dianggap alasan syar’i.
Jika wali
tidak mau menikahkan anak gadisnya dengan alasan yang tidak syar’i seperti ini,
maka wali tersebut disebut wali ‘adhol, yaitu wali yang tidak mau menikahkan
perempuan yang diwalinya jika ia telah menuntut nikah.
Perbuatan ini adalah
haram dan pelakunya (wali) adalah orang fasik sesuai QS Al-Baqarah : 232.
(Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham Al-Ijtima’i fi Al-Islam, hal. 116).
Jika wali tidak mau menikahkan dalam kondisi seperti ini,
maka hal kewaliannya berpindah kepada wali hakim (Imam Asy-Syirazi,
Al-Muhadzdzab, II/37; Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib
Al-Arba’ah, IV/33).
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW, “.... jika mereka
(wali) berselisih / bertengkar (tidak mau menikahkan), maka penguasa
(as-sulthan) adalah wali bagi orang (perempuan) yang tidak punya wali”. (fa in
isytajaruu fa as-sulthaanu waliyyu man laa waliyya lahaa)
(HR. Al-Arba’ah,
kecuali An-Nasa’i. Hadits ini dinilai shahih oleh Ibnu ‘Awanah, Ibnu Hibban,
dan Al-Hakim, Subulus Salam, III/118).
Yang dimaksud dengan wali hakim, adalah orang yang memegang
kekuasaan (penguasa), baik ia zalim atau adil (man ilayhi al-amru, jaa’iran
kaana aw ‘aadilan).
(Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam II/118).
Maka dari itu,
penguasa saat ini walaupn zalim, karena tidak menjalankan hukum – hukum Islam
dalam kehidupan bermasyarakatan dan bernegara, tetap sah menjadi wali hakim,
selama tetap menjalankan hukum – hukum syara’ dalam urusan pernikahan.
BAGAIMANA DENGAN NIKAH TANPA WALI ?
IMAM MALIKI
Imam Maliki mengharuskan izin dari wali atau wakil
terpandang dari keluarga atau hakim untuk akad nikah.
Akan tetapi tidak
dijelaskan secara tegas apakah wali harus hadir dalam akad nikah atau cukup
sekedar izinnya.
Meskipun demikian Imam
Malik tidak membolehkan wanita menikahkan diri-sendiri, baik gadis maupun
janda.
Mengenai persetujuan dari wanita yang akan menikah, Imam
Malik membedakan antara gadis dengan janda.
Untuk janda, harus terlebih dahulu ada persetujuan secara
tegas sebelum akad nikah.
Sedangkan bagi gadis atau janda yang belum dewasa dan
belum dicampuri suami, maka jika bapak sebagai wali ia memiliki hak ijbar.
Sedangkan wali diluar bapak, ia tidak memiliki hak ijbar.
Menurut Imam Malik pula : “tidak sah wanita bangsawan dan
cantik menikah tanpa wali, namun sah bila wanita tersebut tidak demikian”.
IMAM HANAFI
Abu Hanifah membolehkn perkawinan tanpa wali (menikahkan
diri sendiri), atau meminta orang lain diluar wali nasab untuk menikahkan gadis
atau janda.
Hanya saja kalau tidak ekufu, wali berhak membatalkannya.
Dasar yang membolehkan perkawinan tanpa wali, menurut Abu
Hanifah diantaranya Al-Baqarah : 230, 232, 240.
Serta mengartikan “Al-Aima”
adalah “wanita yang tidak mempunyai suami” baik gadis maupun janda.
Ditambah
dengan hadits tentang kasus Al-Khansa’a yang dinikahkan secara paksa oleh
bapaknya dan ternyata tidak diakui oleh Nabi.
Menurut Abu Hanifah persetujuan dari para calon adalah satu
keharusan dalam perkawinan, baik bagi seorang gadis maupun janda.
Perbedaannya,
persetujuan gadis cukup dengan diamnya, sementara janda harus dinyatakan dengan
tegas.
Menurut Daud, “jika perempuan tersebut gadis, maka
nikahnya tidak sak, tanpa wali. Jika ia janda, maka sah nikahnya tanpa wali".
Menurut Abu Tsaur dan Abu Yusuf, wanita yang bernikah tidak diizinkan oleh
walinya, lalu keduanya mengadukan pernikahan itu kepada hakim yang bermadzhab
Hanafi, dan hakim menetapkan sahnya perkawinan tersebut, maka tidak boleh bagi
hakim yang bermadzhab Syafi’i membatalkannya.
Wanita yang berada di suatu tempat, yang tidak ada padanya
seorang hakim dan wali, maka ada dua macam hukum – pertama, ia boleh
mengawinkan dirinya sendiri. Kedua, menyerahkan perkawinannya kepada orang lain
yang Islam
(Rahmatul Ummah Fi Ikhtilafil Aimmah – Al faqih Abdurrahman As
syafi’i ad Damasqy).
IMAM SYAFI’I
Menurut Imam Syafi’i, kehadiran wali menjadi salah satu
rukun nikah, yang berarti tanpa kehadiran wali ketika melakukan akad nikah
perkawinan tidak sah.
Bersamaan dengan ini, Syafi’i juga berpendapat wali
dilarang mempersulit perkawinan wanita yang ada dibawah perwaliannya sepanjang
wanita mendapat pasangan yang sekufu.
Dasar yang digunakan Imam Syafi’i adalah
Al-Baqarah : 232, An-Nisa : 25, 34.
Serta beberapa hadits nabi.
Menurut Syafi’i bapak
lebih berhak menentukan perkawinan anak gadisnya.
Hal ini
didasarkan pada mafhum mukhalafah dari hadits yang menyatakan “janda lebih berhak kepada dirinya”.
Sehingga menurut Syafi’i izin
gadis bukanlah satu keharusan tetapi hanya sekedar pilihan.
Adapun perkawinan
seorang janda harus ada izin secara tegas dari yang bersangkutan.
Hal ini didasarkan pada kasus Al-Khansa’a.
IMAM HAMBALI
Ibnu Qudamah dari Madzhab Hambali menyatakan, wali harus ada dalam perkawinan
(rukun nikah), yakni harus hadir ketika melakukan akad nikah.
Menurutnya hadits yang mengharuskan adanya wali bersifat umum yang berarti
berlaku untuk semua. Sedangkan hadits yang menyebutkan hanya butuh izin adalah
hadits yang bersifat khusus.
Sehingga yang umum harus didahulukan dari dalil khusus.
Ibnu Qudamah berpendapat adanya hak ijbar wali untuk
menikahkan gadis yang belum dewasa, baik wanita tersebut senang atau tidak,
dengan syarat sekufu.
Sedangkan menurut Ibnu Qayyim, persetujuan wanita harus
ada dalam perkawinan.
KEDUDUKAN SAKSI DALAM NIKAH
Nikah tidak sah tanpa
ada saksi (Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali), namun menurut Imam Maliki, sah,
dengan wajib mengumumkan nikahnya itu.
Jadi bila ada orang nikah siri tanpa ada saksi dan
tidak diumumkan maka batal nikahnya.
Syarat saksi adalah dua
orang laki- laki yang mukallaf, berakal sehat, dan adil (menurut Syafi’i dan Hambali)
namun menurut Hanafi boleh seorang laki – laki dan dua orang wanita boleh
saksi sedangkan saksi tersebut orang fasiq.
Menurut tiga Imam Madzhab (Hanafi, Syafi’i, dan Hambali),
tidak sah nikah tanpa saksi.
Namun menurut Madzhab Maliki “sah walau pun tidak
ada saksi” hanya saja Imam Malik mewajibkan pengumumn nikah.
Jadi bila ada akad nikah secara sirri
(rahasia) dan tidak diumumkan pernikahannyaitu, maka menurut Imam Maliki batal
nikahnya
(Rahmatul Ummah Fi Ikhtilafil Aimmah – Al Faqih Abdurrahman As Syafi’i
Ad Damasqy).
SYARAT WALI
Bila ayah kandung tidak memenuhi syarat sebagai wali, maka
hak untuk menjadi wali akan turun kepada urutan wali berikutnya, dimana
daftarnya sudah baku dan tidak bisa dibuat – buat sendiri.
Dan syarat sebagai
wali sudah disebutkan yaitu (1) muslim, (2) laki – laki, (3) akil, (4) baligh,
(5) merdeka, dan (6) adil.
Adapun bila ayah itu
tidak pernah memberikan nafkah, perhatian, kasih sayang, waktu serta pemeliharaan,
tidak pernah bisa dijadikan alasan untuk gugurnya hak perwalian yang
dimilikinya.
KEHARUSAN MEMINTA PERSETUJUAN WANITA
Apabila pernikahan tidak sah kecuali dengan adanya wali, maka
merupakan kewajiban pula meminta persetujuan dari wanita yang berada dibawah perwaliannya.
Apabila wanita tersebut seorang
janda, maka diminta persetujuannya (pendapatnya). Sedangkan jika wanita tersebut
seorang gadis, maka diminta juga ijinnya, dan diamnya merupakan tanda ia
setuju.
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi S. A. W. Bersabda :
“seorang janda tidak boleh dinikahkan kecuali setelah
diminta perintahnya. Sedangkan seorang gadis tidak boleh dinikahkan kecuali
setelah diminta ijinnya.” Para sahabat berkata : “wahai Rasulullah, bagaimana
ijinnya?” beliau menjawab : “jika ia diam saja”.
(HR. Bukhori, Muslim, Abu
Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Nasai).
Dari Ibnu Abbas r. a. Bahwasanya ada seorang gadis yang
mendatangi Rasulullah S. A. W. Dan mengadu bahwa ayahnya telah menikahkannya,
sedangkan dia tidak ridho.
Maka Rasulullah S. A. W. Menyerahkan pilihan
kepadanya (apakah ia ingin meneruskan pernikahannya ataukah ia ingin
membatalkannya). Hadits tersebut diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah.
MAHAR
“Dan berikanlah mahar (maskawin) kepada perempuan yang kamu
nikahi sebagai pemberian yang penuh kerelaan”. (An Nisaa’ : 4)
Mahar adalah sesuatu yang diberikan kepada isteri berupa harta atau selainnya
dengan sebab pernikahan.
Mahar (atau diistilahkan dengan mas kawin) adalah hak
seorang wanita yang harus dibayar oleh laki – laki yang akan menikahinya.
Mahar merupakan milik seorang isteri
dan tidak boleh seorang pun mengambilnya, baik ayah maupun yang lainnya,
kecuali dengan keridhaannya.
Syari’at Islam yang mulia melarang bermahal – mahal dalam
menentukan mahar, bahkan dianjurkan untuk meringankan mahar agar mempermudahkan
proses pernikahan.
Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa
sallam pernah bersabda :
“Di antara kebaikan
wanita adalah mudah meminangnya, mudah maharnya, dan mudah rahimnya”. Urwah
berkata : “yaitu mudah rahimnya untuk melahirkan”. (Riwayat Ahmad, Ibnu Hibban, dan Al Hakim)
‘uqbah bin ‘amir radhiyallaahu ‘anhu berkata “Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “sebaik – baik pernikahan ialah yang
paling mudah””.
[Shahih, HR. Abu Dawud (no 2117), Ibnu Hibban (no 1262
Al-Mawaarid), dan Ath-Thobrani dalam Mu’jamul Ausath (I/221, no 724)]
Seandainya seseorang tidak memiliki sesuatu untuk
membayar mahar, maka ia boleh membayar mahar dengan mengajarkan ayat Al-Qur’an
yang dihafalnya.
(HR. Bukhari dan Muslim)