BEGITU LUAR BIASA TUGAS SUAMI
By: ust. Ahmad Sarwat, Lc
Dalam format berfikir bangsa kita, posisi seorang istri memang lebih merupakan abdi atau pembantu buat suami. Secara tidak sadar, kita menganggap semua itu berasal dari ajaran agama islam. Seolah-olah kita mengatakan bahwa islam telah mewajibkan para istri untuk melakukan banyak pekerjaan rumah tangga, layaknya seorang pembantu.
Istri harus menyapu, mengepel, mencuci, menyetrika, memasak, pokoknya semua pekerjaan rumah tangga lainnya. Waktunya akan terseta dengan pekerjaan sebanyak itu. Bahkan, waktu suami pulang, istri sudah lelah dengan pekerjaan rumah tangga hariannya. Tidak ada waktu untuk melayani suami & anak-anaknya atau mungkin saja mereka hanya mendapatkan sisa tenaga yang dimilikinya.
Lalu seperti apa peran seorang istri dalam rumah tangganya? Apakah seorang istri memiliki kewajiban melakukan semua itu? Bagaimana al Qur’an, sunnah, dan para ulama memandang masalah ini? Ataukah ini hanya kesalahan persepsi bangsa kita saja?
1. AL – QUR’AN
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian harta mereka. (Q. S AnNisa’ : 34)
Ayat ini menegaskan bahwa kewajiban suami adalah memberi nafkah kepada istri, bukan kewajiban istri memberi nafkah kepada suaminya
Sedangkan yang dimaksud dengan nafkah termasuk makanan & minuman, pakaian, dan tempat tinggal
Memberi makan itu merupakan kewajiban suami kepada istri. Dan kalau disebut makanan, artinya bukan bahan mentah melainkan makanan yang siap disantap sehingga proses memasaknya bukan tugas dan tanggung-jawab istri.
Memberi pakaian itu adalah kewajiban suami kepada istri, bukan kewajiban istri kepada suami. Dan kalau disebut pakaian, artinya adalah pakaian yang bersih, wangi, rapi, & siap pakai. Maka kalau baju itu kotor dan bau karena bekas di pakai sehingga mencuci, menjemur, menyetrikanya tentu menjadi kewajiban suami.
Memberi tempat tinggal adalah kewajiban suami kepada istri, bukan kewajiban istri kepada suami. Dan kalau disebut tempat tinggal, artinya rumah dan segala isinya yang siap pakai dalam keadaan baik.bila ada yang kotor dan berantakan, pada dasarnya membersihkan dan merapikan adalah tugas suami, bukan tugas istri.
2. SUNNAH
Kita temukan contoh Real dari kehidupan Nabi SAW dan juga para sahabat tentang kewajiban suami kepada istri.
Adapun kisah Fatimah putri Rasulullah SAW yang bekerja tanpa pembantu, memang sering kali dijadikan hujjah kalangan yang mewajibkan wanita bekerja berkhidmat kepada suaminya. Namun ada banyak kajian menarik tentang kisah ini dan tidak semata-mata begitu saja bisa dijadikan dasar kewajiban wanita bekerja untuk suaminya.
Padahal Asma’ Binti Abu Bakar justru diberi pembantu rumah tangga. Dalam hal ini, suami Asma’ memang tidak mampu menyediakan pembantu, dan oleh kebaikan sang mertua (Abu Bakar) kewajiban suami itu ditangani oleh sang pembantu.
Asma’ memang wanita golongan darah biru dari kalangan Bani Quraisy.
Dan ada juga kisah yang lainnya, yaitu kisah Sa’id bin Amir Radhiyallahu ‘anhu. Pria yang diangkat oleh Khalifah Umar menjadi gubernur di Kota Himsh. Sang gubernur ketika di komplain penduduk Himsh gara-gara sering telat ngantor. Sa’id bin Amir beralasan bahwa dirinya tidak punya pembantu. Tidak ada orang yang bisa disuruh untuk memasak buat istrinya, atau mencuci baju buat istrinya.
Loh, kok kebalik ? Kok bukan istrinya yang memasak dan mencuci ? nah itulah, ternyata yang berkewajiban memasak dan mencuci baju memang bukan istri, tapi suami. Karena semua itu bagian dari nafkah yang wajib di berikan suami kepada istri.
3. 5 MAZHAB FIQIH
Kalau kita telusuri dalam kitab-kitab fiqih para ulama, terutama mazhab-mazhab yang besar dan muktamad, kita akan menemukan bahwa pendapat mereka umumnya cenderung mengatakan bahwa para wanita tidak wajib melakukan semua pekerjaan pembantu.
Ternyata 4 Mazhab besar plus 1 Mazhab lagi yaitu Mazhab Dzahihiri semua sepakat mengatakan bahwa para istri pada hakikatnya tidak punya kewajiban untuk berkidmat kepada suaminya.
a) Mazhab Al-Hanafi
Al-Imam Al-Kasani dalam kitab Al-Badai’ menyebutkan :
Seandainya suami pulang bawa bahan pangan yang masih harus dimasak dan diolah, lalu istrinya enggan untuk memasak dan mengolahnya, maka istri itu tidak boleh dipaksa.
Suaminya diperintahkan untuk pulang membawa makanan yang siap santap.
Di dalam kitab Al-Fatawa Al-Hindiyah fi Fiqhil Hanafiyah disebutkan :
Seandainya seorang istri berkata “saya tidak mau masak dan membuat roti”, maka istri itu tidak boleh dipaksa untuk melakukannya. Dan suami harus memberinya makanan siap santap, atau menyediakan pembantu untuk memasak makanan.
b) Mazhab Maliki
Di dalam kitab Asy-Syarhul Kabir oleh Ad-Dardir, ada disebutkan :
Wajib atas suami berkhidmat (melayani) istrinya. Meski suami memiliki keluasan rejeki sementara istrinya mempunyai kemampuan untuk berkhidmat, namun tetap kewajiban istri bukan berkhidmat. Suami adalah pihak yang wajib berkhidmat, maka wajib bagi suami menyediakan pembantu buat istrinya.
c) Mazhab As-Syafi’i
Di dalam kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab karya Abu Ishaq Asy-Syirazi rahimahullah, ada disebutkan :
Tidak wajib atas istri berkhidmat untuk membuat roti, memasak, mencuci, dan bentuk khidmat lainnya. Karena yang ditetapkan (dalam pernikahan) adalah kewajiban untuk memberi pelayanan seksual (istima’), sedangkan pelayanan lainnya tidak termasuk kewajiban.
d) Mazhab Hanabilah
Seorang istri tidak diwajibkan untuk berkhidmat kepada suaminya, baik berupa mengadoni bahan makanan, membuat roti, memasak, dan yang sejenisnya. Termasuk menyapu rumah, dan menimba air di sumur, ini merupakan nash Imam Ahmad rahimahullah. Karena aqadnya hanya kewajiban pelayanan seksual. Maka pelayanan dalam bentuk lain tidak wajib dilakukan oleh istri, seperti memberi minum kuda atau memanen tanamannya.
e) Mazhab Az-Zhahiri
Dalam Mazhab yang dipelopori oleh Daud Adz-Dzahiri ini, kita juga menemukan pendapat para ulamanya yang tegas menyatakan bahwa tidak ada kewajiban bagi istri untuk mengadoni, membuat roti, memasak dan khidmat lain yang sejenis, walaupun suaminya anak khalifah. Suaminya tetap wajib menyediakan orang yang bisa menyiapkan bagi istrinya makanan dan minuman yang siap santap, baik makan pagi maupun makan malam, serta wajib menyediakan pelayan (pembantu) yang bekerja menyapu dan menyiapkan tempat tidur.
4. Pendapat yang berbeda
Namun kalau kita baca kitab Fiqih Kontemporer Dr. Yusuf Al Qaradawi, beliau agak kurang setuju dengan pendapat Jumhur ulama ini. Beliau cenderung tetap mengatakan bahwa wanita wajib berkhidmat diluar urusan seks kepada suaminya. Dalam pandangan beliau, wanita wajib memasak, menyapu, mengepel, dan membersihkan rumah. Karena semua itu adalah imbal balik dari nafkah yang diberikan suami kepada mereka.
Kita bisa mafhum dengan pendapat syeikh yang tinggal di Doha Qatar ini. Namun satu hal yang juga jangan dilupakan “beliau tetap mewajibkan suami memberi nafkah kepada istrinya diluar kepentingan urusan rumah tangga”. Jadi para istri harus digaji dengan nilai yang pasti oleh suaminya.
Karena Allah SWT berfirman bahwa suami itu memberi nafkah kepada istrinya. Dan memberi nafkah itu artinya bukan sekedar membiayai keperluan rumah tangga, tapi lebih dari itu. Para suami harus “menggaji” para istri, dan uang gaji itu harus diluar semua biaya kebutuhan rumah tangga.
Yang sering kali terjadi memang aneh, suami menyerahkan gajinya kepada istri lalu semua kewajiban suami harus dibayarkan istri dari gaji itu. Kalau masih ada sisanya, tetap saja itu bukan lantas jadi hak istri. Dan celaka kalau kurang, istri yang harus berfikir 7 keliling untuk mengatasinya.
Jadi pendapat Syeikh Al-Qaradawi bisa saja kita terima, asalkan istri juga harus dapat “jatah gaji” yang pasti dari suami diluar urusan kebutuhan rumah tangga.
5. Perempuan dalam islam tidak butuh Gerakan Pembebasan
Kalau kita dalami kajian ini dengan benar, ternyata islam sangat memberikan ruang kepada wanita untuk bisa menikmati hidupnya. Sehingga tidak ada alasan buat para wanita muslimah untuk latah ikut-ikutan dengan gerakan wanita di barat, yang masih primitif karena hak-hak wanita disana masih dikekang.
Islam sudah sejak 14 abad yang lalu memposisikan istri sebagai makhluk yang harus dihargai, diberi, dimanjakan, bahkan digaji. Seorang istri di rumah bukan pembantu yang bisa disuruh-suruh seenaknya. Mereka juga bukan jongos yang kerjanya apa saja mulai dari masak, bersih-bersih, mencuci, menyetrika, mengepel, mengantar anak ke sekolah. Bekerja dari mata melek di pagi hari terus tidak berhenti bekerja hingga larut malam, itu pun masih harus melayani suami di ranjang, saat badannya sudah kelelahan.
KALAU PUN SAAT INI IBU-IBU MELAKUKANNYA, NIATKAN IBADAH dan JANGAN LUPA LAKUKAN DENGAN IKHLAS, WALAU SEBENARNYA ITU BUKAN KEWAJIBAN.
SEMOGA ALLAH SWT MEMBERIKAN PAHALA YANG TERAMAT BESAR BUAT PARA IBU SEKALIAN.
Dan semoga para suami-suami ibu bisa lebih banyak lagi mengaji dan belajar agama islam