.
Hari - hari yang ku jalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keingin untuk bersamanya. Di hari - hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, ibu dan mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang ngambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.
Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengarkan suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggslksnnya di laptopku tanpa me-log out, sekarang sku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari - jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan terakhirnya pun tidak mau ku hapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.
Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih disana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maf pda Allah karena menyi-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yag tidak baik pada suami yyang begitu sempurna. Sholatlah yanvg mampu meghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak - anak. Teman - temanku yang selama ini ku bela - belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.
Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah perduli, yang kuperdulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan uantuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu. Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak - anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja dimana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya diatur oleh dia.
Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan ank - anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.
Istriku Liliana tersayang,
Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. Maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak - anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.
seandainya aku bisa, aku ingin mendampingimu selamanya, sayang. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayangku susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayangku bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak - anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.
Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi - mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Mafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yg lebih baik dariku.
Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti ibu dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapu kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, Buddy!.
Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note.
Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanagerin oleh orang - orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.
Aku tak pernah berfikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak - anakku. Ketika orang tuaku dan mertuaku pergi satu per satu meninggalkanku selama - lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.
kini kedua putra putriku berusia 23 tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertany, "Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan gak bisa masak, gak bisa nyuci, gimana ya bu?"
Aku merangkulnya sambil berkata "Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyalesaikannya atas nama cinta."
Putriku menatapku, "seperti cinta ibu untuk ayah? cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?" Aku menggeleng, "bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua."
Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.
Itulah cerita nyata yang sangat sedih dan mengharukan, Semoga peristiwa ini bisa membuat kita belajar bersyukur dengan apa yang kita miliki, sebab :
Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan ank - anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.
Istriku Liliana tersayang,
Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. Maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak - anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.
seandainya aku bisa, aku ingin mendampingimu selamanya, sayang. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayangku susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayangku bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak - anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.
Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi - mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Mafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yg lebih baik dariku.
Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti ibu dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapu kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, Buddy!.
Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note.
Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanagerin oleh orang - orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.
Aku tak pernah berfikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak - anakku. Ketika orang tuaku dan mertuaku pergi satu per satu meninggalkanku selama - lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.
kini kedua putra putriku berusia 23 tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertany, "Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan gak bisa masak, gak bisa nyuci, gimana ya bu?"
Aku merangkulnya sambil berkata "Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyalesaikannya atas nama cinta."
Putriku menatapku, "seperti cinta ibu untuk ayah? cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?" Aku menggeleng, "bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua."
Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.
Itulah cerita nyata yang sangat sedih dan mengharukan, Semoga peristiwa ini bisa membuat kita belajar bersyukur dengan apa yang kita miliki, sebab :
Apa yang kita harapkan belum tentu kita dapatkan dan apa yang kita dapatkan belum tentu itu yang kita harapkan, Tapi percayalah Tuhan pasti memberikan kita yang terbaik.